Subscribe:

Ads 468x60px

Senin, 28 November 2011

Kendalikan Biaya Kesehatan dengan Farmakoekonomi

Kesehatan adalah salah satu hal yang paling berharga dalam kehidupan. Ketika sakit, tak jarang seseorang harus mengeluarkan sejumlah uang dalam jumlah yang cukup besar. Pemerintah sendiri baru-baru ini mengeluarkan kebijakan Jamkesmas sebagai bentuk upaya pembiayaan kesehatan. Kita berharap agar kebijakan ini dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang adil, berkualitas dan dapat diakses oleh masyarakat luas.
Berbicara mengenai efisiensi biaya pengobatan rasanya akan turut pula membicarakan tentang obat karena obat merupakan komponen penting dalam upaya pelayanan kesehatan bahkan penggunaan obat dapat mencapai 40 % dari seluruh komponen biaya pelayanan kesehatan.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi harga obat sehingga sering kali pasien kesulitan untuk melakukan efisiensi dalam investasi kesehatannya. Pasien sulit memprediksi biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pengobatan yang pada akhirnya dapat membuat pasien enggan untuk mengakses layanan kesehatan karena kekhawatiran harus menanggung biaya yang besar.
Dalam hal pemilihan jenis obat, penggunaan obat generik memang bisa membantu efisiensi biaya kesehatan, namun sayangnya terkadang tidak semua obat generik tersedia di pasaran karena faktor rendahnya permintaan dari dokter yang meresepkan.
Peranan Farmakoekonomi
Farmakoekonomi dapat didefinisikan sebagai perhitungan antara biaya yang dikeluarkan dengan dampaknya pada penyembuhan dalam rangka mengambil keputusan tentang pengembangan obat dan strategi harga obat. Penerapan farmakoekonomi dapat dilakukan baik dalam skala kecil seperti penentuan pilihan terapi untuk seorang pasien, maupun dalam skala besar seperti penentuan daftar obat yang akan disubsidi pemerintah. Farmakoekonomi dapat mengukur kelebihan suatu obat dibandingkan obat lain berdasarkan analisis cost-effectiveness-nya.
Pada umumnya terdapat empat metode analisa farmakoekonomi yang digunakan, yaitu : Analisa Biaya Keuntungan (Cost-Benefit Analysis) yakni perbandingan nilai moneter dari penggunaan sumber daya alternatif, Analisa Biaya Efektifitas (Cost-Effectiveness Analysis) yakni perbandingan nilai moneter dengan mengukur biaya dalam satuan medis, Analisa Biaya Minimisasi (Cost-Minimization Analysis) yakni perhitungan banyaknya biaya yang dapat disimpan sebagai akibat dari suatu tindakan terapi, serta Analisa Biaya Utilitas (Cost-Utility Analysis) yakni pengukuran dari hasil kesehatan dalam satuan kualitas hidup (Quality-Adjusted Life Year).
Menurut Dra. Yulia Trisna, Apt., MPharm dari Instalasi Farmasi RSUP Ciptomangunkusumo, farmakoekonomi tidak hanya penting bagi para pembuat kebijakan di bidang kesehatan saja, tetapi juga bagi tenaga kesehatan, industri farmasi, perusahaan asuransi dan bahkan pasien, dengan kebutuhan dan cara pandang yang berbeda.
Bagi pemerintah, farmakoekonomi sangat berguna dalam memutuskan apakah suatu obat layak dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi, serta membuat kebijakan-kebijakan strategis lain yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Contoh kebijakan terkait farmakoekonomi yang relatif baru diterapkan di Indonesia adalah penerapan kebijakan INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Group) yang menyetarakan standar pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah.
Hasil studi farmakoekonomi dapat berguna untuk industri farmasi dalam hal, antara lain penelitian dan pengembangan obat, strategi penetapan harga obat, serta strategi promosi dan pemasaran obat.
Selain itu, data farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk memutuskan obat mana saja yang dapat dimasukkan atau dihapuskan dalam formularium rumah sakit, yang biasanya disusun oleh Komite Farmasi dan Terapi Rumah Sakit. Farmakoekonomi juga dapat digunakan sebagai dasar penyusunan pedoman terapi obat.
Bagi tenaga kesehatan, farmakoekonomi berperan mewujudkan penggunaan obat yang rasional dengan membantu pengambilan keputusan klinik, mengingat penggunaan obat yang rasional tidak hanya mempertimbangkan aspek keamanan, khasiat, dan mutu saja, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek ekonomi. Pada akhirnya, pasien diharapkan akan memperoleh alokasi sumber daya pelayanan kesehatan yang optimal dengan cara mengukur serta membandingkan aspek khasiat serta aspek ekonomi dari berbagai alternatif terapi pengobatan.
Dengan memahami peranan farmakoekonomi dalam mengendalikan biaya pengobatan, sudah selayaknya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam proses pengambilan kebijakan pelayanan kesehatan sehingga dapat tercapai hasil yang efisien dan ekonomis. Kesadaran akan terbatasnya sumber daya dalam upaya pelayanan kesehatan membuat kebutuhan akan farmakoekonomi menjadi semakin mendesak.

9 Obat-Obatan Dengan Efek Samping yang Aneh

Sadarkah anda ketika anda sakit obat apa yang dikonsumsi untuk masa penyembuhan? Biasanya cukup dengan satu obat tertentu, anda sudah merasa baikan atau bahkan telah merasa sembuh.

Nah kali ini, obat-obatan kimia tidak bisa dihindarkan dari efek samping, termasuk obat yang telah dinyatakan aman untuk digunakan oleh FDA.

Akan tetapi, ada beberapa obat dengan efek samping yang cukup aneh.

Dan untuk membantu anda mengenali serta mengendalikan efek samping obat tersebut, berikut 9 obat dengan efek samping paling aneh.



Jika Anda menggunakan salah satu atau beberapa obat berikut dan merasakan efek samping, segeralah berkonsultasi dengan dokter.

1. Alli

Alli merupakan satu-satunya obat diet, yang dijual di pasaran, yang diterima oleh FDA. Obat ini bekerja dengan cara menghambat penyerapan sebagian lemak yang Anda makan. Akan tetapi, Anda harus mengurangi asupan lemak jika sedang menggunakan obat ini.

Mengapa?

Obat ini akan menyebabkan lemak yang tidak diserap tubuh langsung keluar dari tubuh. Artinya, jika mengonsumsi terlalu banyak lemak, perut akan menjadi kembung, sehingga memicu pembuangan yang sulit dikontrol.

2. Vasotec

Vasotec, obat yang biasa diresepkan dokter untuk mengatasi tekanan darah tinggi dan congestive heart failure, ternyata juga bisa menimbulkan efek samping yang aneh. Pengguna obat ini akan kehilangan kemampuan merasa dan mencium.

3. Lipitor

Lipitor merupakan obat menyerupai statin yang biasa digunakan untuk menurunkan kolesterol dan mengurangi risiko penyakit jantung dan stroke. Sayangnya, obat ini juga bisa menyebabkan amnesia pada beberapa kasus.

4. Pepto bismol

Perut Anda mulas,tidak nyaman atau diare? Anda bisa menggunakan pepto bismol untuk mengatasinya. Obat ini juga mudah diperoleh karena tersedia di pasaran. Akan tetapi, Anda harus berhati-hati, obat ini juga menimbulkan efek samping yang aneh sekaligus juga bisa membahayakan. Obat ini bisa membuat lidah berwarna hitam dan berbulu serta membuat kotoran hasil pembuangan berwarna hitam atau abu-abu.

5. Chantix

Chantix merupakan obat yang telah terbukti banyak membantu perokok menghentikan kebiasaan buruk mereka. Akan tetapi, obat ini juga mendatangkan berbagai efek samping termasuk insomnia. Dan jika sudah tertidur pun, Anda mungkin dihantui oleh mimpi buruk.

6. Viagra

Anda pastinya sudah tahu manfat viagra. Akan tetapi, obat ini juga bisa menimbulkan efek samping berupa gangguan penglihatan, dimana semuanya akan terlihat berwarna biru. Hal ini dialami oleh John Pettigrew, 58, seorang tukang pipa air dari Inggris. Akan tetapi, berdasarkan keterangannya, dia mungkin menggunakan pil ini terlalu banyak. Jadi, meskipun Anda menikmatinya, jangan lupa hindari penggunaan berlebih.

7. Xeloda

Xeloda merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi beberapa jenis kanker. Sebagai efek sampingnya, obat ini juga bisa menyebabkan peradangan pada telapak tangan dan kaki yang dikenal juga dengan hand-foot syndrome. Selanjutnya, peradangan ini bisa menyebabkan penebalan dan pengelupasan kulit sehingga bisa menghilangkan sidik jari. Hal ini dialami oleh seorang pasien kanker pengguna xeloda dari Singapura. Laki-laki yang disebut dengan nama “Mr. S” ini sempat ditahan di bandara di Amerika Serikat karena tidak bisa mengambil sidik jarinya.

8. Ambien

Ambien berfungsi membantu penderita insomnia untuk tidur nyenyak. Akan tetapi, beberapa pengguna melaporkan kalau obat ini bisa memicu kebiasan-kebiasaan aneh seperti sleep-eating, sleep-sex, dan sleep-driving. Beberapa pengguna ambien terbangun di tengah malam dalam kondisi tidak sadar seperti dalam mimpi dan makan, minum, mengemudi atau melakukan aktivitas lainnya di tengah malam. Mereka bahkan sama sekali tidak menyadari apa yang mereka lakukan saat terbangun.

9. Mirapex

Kaki yang kelelahan (restless legs) bisa mengganggu tidur malam Anda. Dan mirapex, obat yang digunakan untuk mengatasi parkinson, juga terbukti bisa meredakan gejala-gejala akibat gangguan ini.

Tapi, Anda juga perlu berhati-hati, beberapa pengguna, seperti yang dilaporkan situs foxnews, mengaku mengalami beberapa masalah termasuk peningkatan selera makan berlebih dan peningkatan gairah seksual. Jika merasakan efek samping ini, sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter.

Terlalu Banyak Minum Obat, Berbahaya!!

Obat biasanya dikonsumsi untuk membantu menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit. Tapi para ahli memperingatkan terlalu banyak obat yang dikonsumsi justru bisa menimbulkan risiko.

Mengonsumsi banyak obat setiap hari bisa menciptakan risiko medis tersendiri bagi orang tersebut dibandingkan dengan menyembuhkan. Untuk itu sebaiknya perhatikan obat mana saja yang menjadi prioritas untuk dikonsumsi setiap harinya.


"Semakin banyak obat yang dikonsusmi maka meningkatkan kesempatan terjadinya interaksi obat atau efek samping utama dan kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi," ujar Sophia De Monte, juru bicara dari American Pharmacists Association, seperti dikutip dari HealthDay, Jumat (4/11/2011).

Kondisi ini disebut dengan polifarmasi yang mana penggunaan obat berlebih pada seseorang yang benar-benar membutuhkan. Hal ini tidak hanya terjadi pada obat resep saja namun juga bisa terjadi dari obat yang dijual bebas dan suplemen.

De Monte dan Norman P Tomaka menuturkan konsumsi obat yang banyak kemungkinan bisa mengalami masalah dalam 3 bidang utama, yaitu:
1. Interaksi obat, satu obat bisa bekerja melawan obat lainnya dalam cara yang aneh sehingga semakin besar risiko adanya interaksi yang bisa mempengaruhi kesehatan orang tersebut.
2. Mempengaruhi kepatuhan minum obat, semakin banyak obat yang diminum maka akan menimbulkan banyak beban pada diri orang tersebut sehingga meningkatkan risiko berkurangnya kepatuhan dalam minum obat. Kurangnya kepatuhan akan memicu kondisi lain, seperti kurang patuh minum antibiotik bisa membuat bakteri menjadi bakteri lebih kebal.
3. Efek samping, setiap obat yang dikonsumsi memiliki risiko efek samping tersendiri, dan kadang obat yang satu bisa menutupi gejala efek samping dari obat yang lain. Sehingga jika ada reaksi yang merugikan, seseorang menjadi sulit menebak obat mana yang memicu efek samping tersebut.

"Dokter dan apoteker harus bekerjasama dalam meninjau resep obat untuk pasian dalam meminimalkan obat yang perlu diminum, sehingga bisa didapatkan pengobatan terbaik dengan efek samping yang minimal," ujar De Monte.

Sementara itu De Monte dan Tomaka menyarankan beberapa langkah yang bisa dilakukan seseorang untuk memastikan obat yang dikonsumsi tidak menimbulkan amsalah lebih besar dibanding manfaatnya dalam mengobati penyakit yaitu:


  1. Mengonsumsi masing-masing obat secara terpisah dengan air putih
  2. Membaca semua informasi yang diberikan dari setiap obat yang diminum baik obat resep atau pun obat yang dijual bebas, sehingga bisa diketahui adakah potensi masalah yang mungkin muncul
  3. Memeriksa dan menanyakan manfaat, efek samping dan kontraindikasi dari tiap obat yang diberikan pada dokter dan apoteker
  4. Melaporkan gejala yang muncul setelah mulai mengonsumsi obat baru.

Loperamide, Obat yang Bantu Sembuhkan Diare






Loperamide adalah obat yang digunakan untuk mengobati diare. Loperamide membantu menghentikan diare dengan memperlambat gerakan usus. Obat ini hanya tersedia dengan resep dokter. Produk ini tersedia dalam bentuk sediaan tablet, kapsul, cair, tablet kunyah, dan solusi

Dosis

1. Untuk bentuk sediaan kapsul:
- Dewasa dan remaja : Dosis umumnya 4 mg (2 kapsul) setelah buang air besar pertama, dan 2 mg (1 kapsul) setelah dosis pertama diminum. Jangan melebihi 16 mg (8 kapsul) dalam waktu dua puluh empat jam.


- Anak-anak usia 8 sampai 12 tahun : Dosis umumnya 2 mg (1 kapsul) tiga kali sehari.

- Anak-anak usia 6 sampai 8 tahun : Dosis umumnya 2 mg (1 kapsul) dua kali sehari.

- Anak-anak di bawah 6 tahun : Penggunaan tidak dianjurkan kecuali diarahkan oleh dokter.


2. Untuk bentuk sediaan larutan oral:
- Dewasa dan remaja : Dosis umumnya 4 sendok teh (4 mg) setelah buang air besar pertama dan 2 sendok teh (2 mg) setelah dosis pertama dimunum. Jangan melebihi 8 sendok teh (8 mg) dalam waktu dua puluh empat jam.

- Anak-anak usia 9 sampai 11 tahun : Dosis umumnya 2 sendok teh (2 mg) setelah buang air besar pertama, dan 1 sendok teh (1 mg) setelah dosis pertama diminum. Jangan melebihi 6 sendok teh (6 mg) dalam waktu dua puluh empat jam.

- Anak-anak usia 6 sampai 8 tahun : Dosis umumnya 2 sendok teh (2 mg) setelah buang air besar pertama, dan 1 sendok teh (1 mg) setelah dosis pertama diminum. Jangan melebihi 4 sendok teh (4 mg) dalam waktu dua puluh empat jam.

- Anak-anak di bawah usia 6 tahun : Penggunaan tidak dianjurkan kecuali diarahkan oleh dokter.

3. Untuk bentuk sediaan tablet:
- Dewasa dan remaja : Dosis umumnya 4 mg (2 tablet) setelah buang air besar pertama, dan 2 mg (1 tablet) setelah dosis pertama diminum. Jangan melebihi 8 mg (4 tablet) dalam waktu dua puluh empat jam.

- Anak-anak usia 9 sampai 11 tahun : Dosis umumnya 2 mg (1 tablet) setelah buang air besar pertama, dan 1 mg (½ tablet) setelah dosis pertama diminum. Jangan melebihi 6 mg (3 tablet) dalam waktu dua puluh empat jam.

- Anak-anak usia 6 sampai 8 tahun : Dosis umumnya 2 mg (1 tablet) setelah buang air besar pertama, dan 1 mg (½ tablet) setelah dosis pertama diminum. Jangan melebihi 4 mg (2 tablet) dalam waktu dua puluh empat jam.

- Anak-anak di bawahi usia 6 tahun : Penggunaan tidak dianjurkan kecuali diarahkan oleh dokter.

Efek Samping

Efek samping obat ini cukup jarang ditemui. Namun jika ada, gejalanya dapat berupa:




  1. Kembung
  2. Sembelit
  3. Kehilangan nafsu makan
  4. Perut nyeri disertai mual dan muntah
  5. Ruam kulit

Pamor Buah Merah Terbentur Penelitian

Agak berseberangan dengan anggapan masyarakat tentang khasiat buah merah untuk  menyembuhkan penyakit, paparan hasil penelitian justru belum memberikan bukti yang menggembirakan.
 
Sejak dua tahun lalu, Desiree Zuraida, 51 tahun, mulai getol mengonsumsi buah merah. Khabar mengenai khasiat buah asal Irian Jaya itu ia peroleh dari pemberitaan di berbagai media. Desiree tergerak untuk mendapatkan minyak buah merah meski harganya mahal. “Sekitar 1,2 juta setiap liternya,” ujar staf pengajar di Fakultas Hukum UI ini.  Tapi, benarkah buah merah berkhasiat? Desiree mengatakan, “Ketika timbul gejala flu, saya minum buah merah, nggak jadi sakit.”
 
Boleh jadi, ada banyak hal mengenai buah merah ini selain yang dilontarkan Desiree. Dan, maraknya pemberitaan mengenai khasiat buah merah menyedot perhatian banyak kalangan, termasuk kalangan akademisi.   Salah satunya, adalah Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI yang melakukan serangkaian penelitian mengenai buah merah. Hasilnya, pada Kamis, (29/3) lalu telah dipaparkan di Aula FKUI  dalam Seminar Hasil Penelitian Buah Merah.
 
Efek Antioksidan
 
Buah merah diduga memiliki khasiat karena mengandung beberapa antioksidan, terutama beta karoten dan alfa tokoferol. Untuk membuktikan dugaan tersebut, salah satu hasil penelitian yang dipaparkan adalah riset mengenai aktivitas antioksidan total buah merah dibandingkan dengan bahan pangan alam lain, yaitu jahe, tomat dan bawang putih. Penelitian yang dilakukan oleh DR. rer.physiol Dr. Septelia Inawati Wanandi, dkk ini menggunakan minyak buah merah merek tertentu yang dijual di pasar. Pada penelitian ini, juga diteliti kandungan fenol untuk tumbuhan tersebut, karena kontribusi senyawa fenol terhadap aktivitas antioksidan lebih besar dibandingkan dengan vitamin C, E, dan karotenoid.
 
Tapi, hasilnya sedikit berlawanan dengan yang banyak dikhabarkan orang. Minyak buah merah memiliki kandungan fenol total maupun aktivitas antioksidan total yang hampir tidak terdeteksi, berbeda dengan jahe, tomat, dan bawang putih.
 
Penelitian buah merah pun berlanjut untuk membuktikan efek antioksidan minyak buah merah secara in vitro yang dilakukan oleh Dr. Sri Widia A. Jusman, MS, dkk.  Penelitian dilakukan pada sel darah merah domba yang diberi stress oksidatif. Sebagai parameter stress oksidatif diukur kandungan malondialdehid (MDA), kandungan senyawa karbonil, pembentukan metHb, dan aktivitas enzim kalase. Kesimpulan  dari hasil penelitian juga belum menggembirakan : minyak buah merah tidak melindungi sel darah merah domba yang diberi stress oksidatif.
 
Efek pada Kanker
Buah merah disinyalir juga dapat mengobati penyakit kanker.  Untuk mengetahui khasiat buah merah terhadap kanker, Dr. Parwati Abadi Soekarno, Sp.Biok dkk meneliti efek minyak buah merah pada karsinogenesis hati tikus yang diinduksi dengan 2-asetilaminofluoren (AAF). Kesimpulan yang dilaporkan, efek antioksidan minyak buah merah belum cukup menghambat stress oksidatif dan karsinogenesis hati oleh AAF. Kesimpulan lain adalah pemberian minyak buah merah tidak menginduksi karsinogenesis, tetapi dapat menginisiasi kerusakan sel hati yang mungkin dimediasi oleh stress oksidatif.
 
Dengan tingginya prevalensi penderita kanker payudara di Indonesia, buah merah juga diteliti untuk mengetahui apakah berkhasiat untuk pengobatan penyakit ini. Maka, diteliti apakah minyak buah merah dapat menghambat pertumbuhan sel tumor pada kelenjar susu mencit C3H. Sayangnya, penelitian yang dilakukan Hening Pujasari, dkk bersama koleganya lagi-lagi memberikan hasil yang bertolak belakang dengan anggapan masyarakat bahwa buah merah dapat digunakan dalam pengobatan kanker. “Pemberian minyak buah merah dapat menghambat laju proliferasi sel tumor kelenjar susu mencit C3H, namun aktivitas apoptosis dan pertumbuhan tumor belum dapat dihambat,” ujar Dra. Puspita Eka Wuyung, MS dalam presentasinya.
 
Masih dengan menggunakan binatang yang sama, yaitu tikus, maka dilakukan penelitian untuk menguji khasiat buah merah sebagai antiradang. Kali ini penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ninik Mudjihartini, dkk menggunakan tikus Sprague jantan yang diberikan minyak buah merah. Hasil penelitian menunjukkan dosis minyak buah merah 0,231 mL/200 gram berat badan belum mampu menghambat proses radang pada edema kaki dibandingkan dengan pemberian natrium diklofenak. Namun, hasil yang mengembirakan mengenai efek buah merah adalah ketika dilakukan pengukuran jumlah leukosit.  Minyak buah merah mampu menekan peningkatan jumlah leukosit sebanding dengan obat yang biasa digunakan sebagai antiradang.
 
Sessi selanjutnya dari buah merah mencoba mengetahui kemampuan minyak buah merah melindungi hati tikus.  Pada percobaan ini, tikus yang digunakan adalah tikus galur Sprague-Dowley yang diracun dengan tetraklorida. “Sifat toksik CCl4 diketahui dapat mengakibatkan kerusakan jaringan hati,” kata Indriati yang memaparkan hasil penelitiannya bersama koleganya. Untuk mengetahui kerusakan hati, dilakukan pengukuran aktivitas GPT (glutamate piruvat transamine) plasma. Sedangkan pengaruh radikal bebas metabolit CCl4 pada lipid hati dinilai dengan mengukur kandungan MDA hati. Dan hasilnya pengamatan terhadap aktivitas GPT plasma dan kandungan MDA jaringan hati, minyak buah merah ternyata dapat memberi perlindungan pada hati.
 
Efek terhadap Imunitas
Sejumlah orang di masyarakat mengonsumsi buah merah untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Siti Rachmawati Achyat, SSi, dkk memaparkan penelitian tentang efek buah merah terhadap imunitas humoral. Biatang percobaan yang digunakan untuk melihat pengaruh pemberian sari buah merah adalah tikus jantan galur wistar yang diberi imunitas sel darah merah domba. Titer antibody anti-sel darah merah domba diuji secara statistik dengan metode ANOVA satu arah dan uji nyata beda terkecil. “Sari buah merah tidak mempengaruhi imunitas humoral tikus respon antigen sel darah merah domba,” ujar Siti dalam kesimpulannya.
 
Buah Merah Sebabkan Stres Oksidatif
Penelitian selanjutnya kembali tidak membuktikan gembor-gembor di masyarakat bahwa buah merah memiliki keunggulan ditinjau dari khasiatnya. Buah merah justru dapat bersifat toksik terhadap hati. Dr. Tena Djuartina, M.Biomed, dkk coba mengungkap pemberian minyak buah merah pada hati tikus yang cedera akibat pemberian D-Galaktosamin. Pada penelitian yang dilakukan, tikus dibagi menjadi empat kelompok, yaitu yang diberi air, diberi minyak buah merah, diberi D-galaktosamin, diberi minyak buah merah lalu D-galaktosamin 1 minggu kemudian, diberi minyak buah merah dan D-Galaktosamin secara bersamaan. Dosis minyak buah merah yang digunakan adalah 1mL/kgBB/hari per oral, sedangkan dosis D-galaktosamin 200 mg/KgBB/minggu secara intraperitoneal.
 
Hasil pengukuran MDA plasma menunjukkan bahwa D-galaktosamin dapat meningkatkan MDA plasma setiap minggu. Hal ini menunjukkan bahwa D-galaktosamin mengakibatkan kerusakan oksidatif molekul lipid. Di lain sisi,  hasil MDA jaringan hati menunjukkan bahwa minyak buah merah juga bersifat toksik terhadap hati, sehingga menyebabkan peroksidasi lipid. Terbukti pada kelompok tikus yang diberi D-galaktosamin dan buah merah, hasil MDA plasma lebih tinggi dibandingkan kelompok yang diberi D-galaktosamin. Hal ini berarti, kerusakan yang diakibatkan menjadi lebih tinggi jika diberikan tambahan minyak buah merah dibandingkan jika hanya diberi D-galaktosamin.
 
Dari penelitian dengan mengukur berat hati,  D-Galaktosamin meningkatkan berat hati secara bermakna, karena D-galaktosamin mempunyai efek merusak hati. Pemberian minyak buah merah juga ternyata meningkatkan berat hati. “Disimpulkan minyak buah merah tidak dapat memberikan perlindungan terhadap sel hati,” ujar Tena.
 
 
Dr. Mohammad Sadikin, DSc dalam rangkumannya mengatakan, “Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk melihat efek ekstrak buah merah dengan target penelitian yang lebih rinci.” Dr. Parwati Abadi Soekarno, Sp.Biok di sesi terakhir juga mengatakan bahwa pemakaian jangka panjang untuk buah merah sebaiknya berhati-hati.

Terapi Kombinasi untuk Aksi Ganda pada Pasien Hipertensi dengan DM tipe 2

Agent hipertensi tak sekedar menurunkan tensi darah namun juga membantu perbaikan kondisi lainnya sehingga menunda komplikasi. 
 
Penyakit Dibates Mellitus (DM) tipe 2 menjadi perhatian utama dalam bidang kesehatan. Hal ini disebabkan peningkatan angka penderitanya dari tahun ke tahun. Data WHO saja memperlihatkan saat ini ada sebanyak 170 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini dan akan bergerak naik menjadi 370 juta pada 2030 nanti.
 
Dari angka penderitanya yang tinggi, sekitar sepertiganya rentan terhadap ancaman kerusakan ginjal yang ditandai dengan gejala mikroalbuminuria (disfungsi endothelial). Mikroalbuminuria akan berkembang menjadi proteinuria sebesar 20 – 40 %. Pasien dengan proteinuria, diperkirakan sekitar 10 -50 % akan mengalami penyakit ginjal kronis yang membutuhkan tindakan hemodialisa ataupun transplantasi ginjal. Tidak berhenti disitu saja, probabilitas lain pada penyakit kardiovaskular terpicu sekitar 40-50% akibat penyakit DM ini.
 
Strategi pengobatan dalam hal ini adalah penurunan tekanan darah hingga ke titik aman, kontrol kadar gula darah, profil metabolisme pasien. Kesemua tindakan ini berpangkal pada upaya pencegahan atau penundaan kerusakan jaringan dan organ lain.
 
Sebuah studi bertajuk BENEDICT (Bergamo Nephrologic Diabetes Complication Trial) berlangsung di Italia selama rata-rata 3,6 tahun. Studi ini bermaksud menilai penggunaan golongan ACE inhibitor baik sebagai monoterapi ataupun kombinasi dengan Calcium Antagonist non Dihidropiridine dapat mencegah terjadinya mikroalbuminuria pada pasien hipertensi dengan DM tipe 2 dengan ekresi albumin urin normal.
 
Studi yang dipublikasikan  pada New England Journal Medicine Vol.351, No. 19,  4 November 2004 lalu melibatkan pasien sebanyak 1204 orang berusia ≥ 40 tahun dengan tingkat ekresi albumin urin ≤ 20 mg/menit, tekanan darah ≥ 130/85 mmHg, kadar HbA1c ≥ 11 %.   
 
Di akhir studi tercatat mikroallbuminuria terjadi sebesar 5,7 % pada kelompok trandolapril plus verapamil SR. Sebesar 6,0 % pada kelompok trandolapril, sebesar 11,9 % pada kelompok verapamil SR dan 10,0 % pada kelompok plasebo. Kesimpulan studi memperlihatkan penggunaan kombinasi trandolapril dan verapamil SR serta monoterapi trandolapril mampu menurunkan insiden mikroalbuminuria secara bermakna dibandingkan dengan plasebo.
 
Hasil serupa diperoleh dalam sebuah studi di 11 lokal kesehatan di Spanyol, studinya termuat dalam Journal of Human Hypertension (2001) 15. Studi yang melibatkan 103 pasien hipertensi dengan DM yang disertai albuminuria. Investigasi ini bertujuan membandingkan dua agent antihipertensi, yakini verapamil SR-trandolapril 180/2 mg (VT) dengan enalapril-hydrochlorothiazide 20/12,5 mg (EH). Studi yang berlangsung 6 bulan ini menyisakan sebanyak 93 peserta di tahap akhir. Penurunan tekanan darah total tercapai sebesar 17/12 mmHg, oleh kelompok VT tercapai sebesar 16/11 mmHg, sedangkan di kelompok EH tercatat sebesar 18/13 mmHg. Target albumin adalah < 300 mg/hari atau ≥ 300 mg/ hari. Pada kelompok VT tercatat kadar albumin tercapai sebesar 210,4 mg/hari, sementara pada kelompok EH tercapai sebesar 302,9 mg/hari.  
 
Kadar metabolisme yang ditunjukkan dengan pengukuran HbA1c di awal studi tercatat sebesar 5,93 ± 1,34 %, di akhir studi tercatat sebesar 6,17 ± 1,58 %. Pada kelompok VT, data awal 5,91 ± 1,43 % menjadi 5,94 ± 1,62 %. Pada kelompok EH, data awal 5,96 ± 1,25 % menjadi 6,41 ± 1,51 %. Kadar gula standar adalah 126 mg/dL. Pada kelopok VT, catatan awal 143 ± 55 mg/dL menjadi 119 ± 53 mg/dL. Sementara pada kelompok EH, di awal menunjukkan 133 ± 34 mg/dL menjadi 132 ± 42 mg/dL.
 
Hasil studi menunjukkan bahwa pada pasien DM tipe 2 dengan albuminuria dan tekanan darah yang tidak terkontrol dengan monoterapi, kombinasi VT (verapamil SR 180mg – trandolapril 2mg) memiliki efek antihipertensi dan anti albuminuria yang setara dengan kombinasi EH (enalapril 20mg – HCTZ 12.5mg). Akan tetapi, kombinasi Verapamil SR – Trandolapril ini memberikan kontrol metabolisme yang lebih baik dibandingkan dengan kombinasi enalapril - HCTZ.